Nasihat Kubur

Aku adalah tempat yang paling gelap diantara yang gelap, maka terangilah aku dengan TAHAJJUD


Aku adalah tempat yang paling sempit, maka luaskanlah aku dengan ber SILATURAHMI


Aku adalah tempat yang paling sepi, maka ramaikanlah aku dengan perbanyak baca AL-QUR'AN


Aku adalah tempatnya binatang-binatang yang menjijikkan, maka racunilah ia dengan amal SHADAQAH


Aku yang menjepitmu hingga hancur bilamana tidak shalat, maka bebaskan jepitan itu dengan SHALAT 


Aku adalah tempat untuk merendammu dengan cairan yang sangat amat sakit, maka bebaskan rendaman itu dengan PUASA


Aku adalah tempat Munkar dan Nakir bertanya, maka persiapkanlah jawabanmu dengan perbanyak mengucapkan kalimat LAA ILAAHA ILLALLAH

Perjuangan Siti Hajar

Lembah Bakkah (Mekah) dan Baitullah
jaman dahulu kala
Bila sedang berada di bulan Dzulhijjah, seluruh umat Islam pasti teringat dengan kisah Ibrahim, Ismail dan Siti Hajar. Ada yang teringat dengan kisah anjuran berkurban bagi yang mampu. Ada yang teringat akan kepatuhan dan ketaatan Ismail as. terhadap ayahnya, Ibrahim as. Ada yang teringat akan kisah perjuangan Siti Hajar dengan Ismail as. saat ditinggal Ibrahim as. di Mekah, yang saat mereka ditinggal masih dalam kondisi lembah yang gersang dan ditumbuhi rerumputan dan akasia.

Artikel ini akan mengajak pembaca melihat perjuang Siti Hajar. Tak lebih dan tak kurang. Perjuangan yang layak ditiru oleh para muslimah.

Di dalam buku "Misteri Ka’bah", buku terjemahan dari The Ka’bah yang diterbitkan penerbit Zaman, dicantumkan kisah perjuangan Siti Hajar. Saat pertama kali dibawa Ibrahim as. dari Kan’aan menuju lembah yang gersang, sungguh, Siti hajar penuh dengan ketakutan. Pasalnya, suku Amaliqah yang suka berkemah saja, setelah beberapa hari bermukim di sana, tak pernah lagi ingin mengunjungi lembah tersebut lantaran susah mendapatkan air dan makanan ternak.

Saat tiba di lembah tersebut tampak sekali kegelisahan, kebingungan, dan ketakutan Siti Hajar, dan Nabi Ibrahim as. sangat memahaminya. Dengan suara yang lembut nabi Ibrahim as. bertutur, "Janganlah takut Bunda Ismail. Saat ini kau berdiri di tanah Tuhan yang diberkati. Yakinlah kepada Allah." Setelah sehari semalam Ibrahim as. menemani Siti Hajar dan Ismail as., Ibrahim as. pun pamit ingin pulang ke negerinya, Kan’aan. Usai bersiap, ia memandangi wajah Siti Hajar lalu berkata, "Aku akan meninggalkan kamu beserta putramu dalam pengawasan Allah. Aku berharap bisa kembali lagi secepatnya ke sini, Insya Allah!"

Setelah terjadi dialog, dan akhirnya Siti Hajar memahami apa yang dilakukan Nabi Ibrahim as. adalah perintah Allah, maka ia menerimanya dengan penuh keikhlasan dan keyakinan bahwa Allah tidak akan menelantarkannya. Dengan nada tegas Siti Hajar mengatakan saat Ibrahim as. ingin menaiki kendaraannya, "Jika memang begitu perintah-Nya, aku yakin Allah tidak akan menelantarkan kami."

Setelah kepergian Nabi Ibrahim as, Siti Hajar mulai merasuki kehidupan yang berbeda, yang hanya ditemani olah putranya Ismail as. Keesokan paginya, Siti Hajar terbangun karena tangis keras bayinya, Ismail as. Hajar pun mulai panik dan bingung karena bayinya sangat lapar dan dahaga. Ia mengambil kantong air, namun ternyata isinya sudah habis. Ia pun mulai mencari ke-sekeliling tempatnya bermukim. Dia pergi menuju bukit Shafa berharap ada sekelompok kafilah di sana, namun ternyata tidak ada.

Tiba-tiba dilihatnya kilauan air di lereng bukit Marwa, dikejarnya namun ternyata tidak ada. Ia melihat pula di bukit Shafa ada air, didatangi lembah bukit tersebut ternyata tidak ada juga air di sana. Ia berbolak balik antara Shafa dan Marwa hingga tujuh kali, meski sengatan matahari membakar wajahnya dan hamparan pasir membuat telapak kakinya berdarah-darah.

Padahal dahulu, masa kecil dan remajanya di Mesir ia dapat menikmati air yang jernih dan segar, matahari yang cerah dan angin bertiup lembut. Menikah dengan nabi Ibrahim as. di antara ladang dan kebun yang indah dihembus udara yang segar. Kini ia ditakdirkan mengalami derita kesendirian dan keterasingan. Ia dipaksa merasakan keganasan dan kegersangan hamparan sahara.

Di tengah harap dan putus asa, ia kembali menemui bayinya. Ketika dekat dengan anaknya, ia terkejut. Tadi Ismail as. menangis kenapa sekarang tenang? Ia tersentak kaget bercampur bahagia melihat air yang mengalir di bawah kaki bayinya. Air itu muncul bekas hentakan kaki bayinya saat menangis. Ia pun mencidukkan air tersebut dengan tangannya dan memberi minum bayinya. Ia pun tak henti-hentinya memuji Allah atas rahmat yang dianugerahkan kepadanya.

Belajar dari Siti Hajar

Dari kisah singkat mengenai apa yang dirasakan Siti Hajar, adalah layak untuk para muslimah untuk meneladaninya dalam kehidupan sehari-hari. Hemat penulis, tiga perilaku Siti Hajar yang layak ditiru. Pertama, taat kepada Allah. Siti Hajar sangat taat kepada Allah. Ketika ia tahu diminta untuk tinggal di lembah yang sangat gersang, ia tidak protes.

Ia tahu bahwa Allah tidak akan menyia-nyiakannya. Allah tidak akan menelantarkannya di daerah tersebut, meski suku Amaliqah ‘kapok’ tinggal di daerah tersebut. Pertanyaannya sekarang, sudahkah kita, wahai para muslimah, taat kepada Allah Swt? Bila kita sudah menikah, apakah kita sudah menjalankan tugas kita sebagai isteri yang baik, yang merupakan wujud ketaatan kita kepada Allah Swt? Bila belum menikah, sudahkah masa gadis kita ini digunakan untuk ibadah kepada Allah SWT?

Pertanyaan yang penulis ajukan bukanlah untuk menggurui, namun hanya untuk mengajak merenung bersama. Taatlah kepada suami apapun bentuknya, jika masih berada di batas Syar’i. Jangan pikirkan apa yang diperbuatnya terhadap kita, tapi pikirkanlah apa yang telah diberikan Allah dengan ditakdirkannya menikah dengan diri kita.

Untuk yang belum menikah, jangan pikirkan hal-hal buruk yang dialami, tapi pikirkan betapa Allah sangat sayang dengan diri kita hingga detik ini Allah menjaga kita dari laki-laki yang tak pantas untuk dijadikan pendamping hidup. Yakinlah Allah tak pernah menyia-nyiakan kehidupan kita di dunia ini. Yang penting, percayalah kepada Allah dan senantiasa taat kepadanya. Karena Rasulullah SAW bersabda, "Ada dua hal yang tak ada sesuatu yang dapat melebihi keunggulan keduanya: beriman (percaya) kepada Allah dan memberi manfaat kepada kaum muslimin."

Kedua, sabar dalam berjuang. Lihatlah kehidupan Siti Hajar. Meski ia ditinggal suaminya, ia tetap berjuang untuk mencari makan dan minum anaknya. Meski hampir putus asa, namun ia tetap memiliki keyakinan bahwa Allah akan menolongnya. Inilah yang perlu ditiru. Meski suami sedang memiliki rezeki yang ‘seret’, janganlah berubah pandangan terhadapnya. Jangan pernah mencacinya.

Penderitaan yang mungkin kita alami belum ada apa-apanya dibandingkan penderitaan Siti Hajar. Karena itu, tetaplah mengasuh anak dengan baik seperti apa yang dilakukan Siti Hajar. Yakinkan diri bahwa Allah akan memberi rezeki. Allah tak akan membiarkan hambanya menderita.

Ketiga, tawakkal dan bersyukur setelah berusaha. Setelah taat kepada Allah dan sabar dalam berjuang, maka yang mesti dilakukan adalah tawakkal dan bersyukur. Lihatlah apa yang dilakukan Siti Hajar. Setelah ia lelah berbolak-balik dari Shafa ke Marwah tujuh kali, ia tawakkal kepada Allah. Ia pun mendekati anaknya dan yakin Allah akan menolongnya. Tawakkalnya berbuah manis. Ia melihat air di kaki anaknya, Ismail. Ia pun tak lupa bersyukur kepada Allah.


(Artikel: Mimbar Islam - Jumat, 04 Nov 2011 08:10 WIB, Muslimah, Belajarlah dari Siti Hajar Oleh : Siti Asiyah Nasution, S.Psi, M.Pd. Penulis adalah Dosen STKIP Tapsel dan Kepala Sekolah TK Lestari Batang Toru-Tapselhttp://www.analisadaily.com/news/read/2011/11/04/20275/muslimah_belajarlah_dari_siti_hajar/)
Design by Abdul Munir Visit Original Post Islamic2 Template